Di balik viralnya Bakso Beranak dan Bakso Mangkuk di media sosial
Dalam setahun terakhir, menu bakso hadir dengan bentuk-bentuk ekstrem mulai dari yang beranak pinak, hingga berbentuk mangkok yang bisa dimakan. Sebuah sensasi kuliner yang akan mengubah budaya makan, atau hanya tren seumur jagung?
Ukurannya luar biasa besar hingga mangkuknya hanya bisa menutup setengah lingkaran bakso bulat itu. Dia dikenal dengan sebutan bakso beranak - bakso besar yang didalamnya dimasukkan bakso-bakso kecil dan telur.
Tidak mungkin dihabiskan sendiri. Salah seorang pelanggan, Lulu memesan bakso yang sedang tren ini untuk dimakan berdua dengan temannya - yang juga penggemar bakso.
"Satu minggu bisa tiga kali atau empat kali makan bakso," katanya saat ditemui di BBC Indonesia di warung Bakso Rusuk Joss di Bekasi.
"Kalau soal bakso memang hobi banget. Bakso itu suatu kebutuhan, kalau lagi bete bingung mau makan apa, ujung-ujungnya ketemu bakso lagi bakso lagi," ujar kawan Lulu yang tak segan menuangkan banyak sambal ke mangkuk baksonya.
Berkah media sosial
Di Bekasi, Bakso Rusuk Joss ramai dikunjungi konsumen setahun terakhir, berkat sebuah foto yang tiba-tiba viral di media sosial. "Kekuatan media sosial itu sungguh luar biasa," kata Isa Juarsa, 33, pemiliknya.
"Ketika itu kita bikin menu jumbo mekar dan bakso mangkok kita foto, kita share di Facebook, ternyata ada yang ambil dan unggah di tempat lain. Dari situ booming ," katanya semangat.
"Sampai waktu itu hari Kamis, saya dagang rame banget . Kaget saya juga. Buka jam 8 pagi, sekitar jam 11 pagi sudah habis. Itu lima kilogram saya jual. Hari Sabtu, saya bikin 100 kilogram, ternyata jam lima sore sudah habis. Hari Minggu, ini momen saya bilang, bikin 200 kilogram ternyata habis lagi jam 3 sore. Memang meledak ya," sambung Isa.
Sebagai pengusaha baru yang terjun di usaha kuliner sekitar empat tahun lalu, Isa memahami bahwa inovasi adalah kunci menghadapi persaingan usaha yang sengit. Apalagi bakso adalah menu rakyat yang bisa ditemui di tiap sudut kota.
"Teknologi sudah berkembang, orang makan bukan cuma cari rasa saja, yang paling penting selfie, ada yang tempatnya yang difoto, ada makanannya yang difoto. Makanya kita harus berkreasi lagi, ketika ini sudah naik, bikin yang baru," kata Isa yang berkomitmen untuk menguji coba menu bakso baru tiap empat bulan sekali.
Pisau bermata dua
Warung bakso di Bekasi ini tidak sendiri, banyak warung bakso lain bereksperimen dengan gaya serupa. Menu bakso kelapa misalnya, tak hanya dijual di Jakarta tapi juga di Yogyakarta dan Klaten.
Bakso selimut - dengan lapisan telur di luar bakso - dijajakan di Banyuwangi dan Jember. Di Cirebon, muncul juga bakso dengan nama yang sensasional: bakso buaya beranak dan bakso jin beranak.
Bakso apa yang paling besar? Mungkin bakso seberat dua kilogram di Bakso Laman Astagfirullah Aladzim, di Jalan Sukawarna, Kota Bandung.
Bagi konsultan kuliner Arie Parikesit, media sosial adalah pisau bermata dua dalam bisnis kuliner. Di satu sisi, media sosial adalah jalan murah dan efektif untuk mempromosikan makanan, tetapi di sisi lain platfrom ini membuat "hal yang tidak seharusnya populer menjadi populer."
"Paling mudah mempromosikan suatu makanan di media sosial, kita unggah sekali, puluhan ribu orang yang tahu dan sekian persen akan mencoba, oh ada bakso beranak," katanya.
Tapi seberapapun sensasional variannya, Arie mengatakan adonan bakso akan selalu menjadi kunci. "Dibikin beranak atau pakai keju mozarella itu variasi, tapi orang akan kembali ke kuahnya, cita rasa baksonya, daging yang di dalamnya itu."
Sudah punya variasi sejak dulu
Bakso seperti banyak menu makanan lain di Indonesia - seperti nasi goreng, capcay, bakmi, siomay, bakpia, hingga bakwan - dipengaruhi oleh kultur kuliner Tiongkok yang telah berasimilasi dengan cita rasa lokal selama ratusan tahun.
Bak berasal dari bahasa Hokkian yang berarti daging babi, sementara so berarti gilingan daging. Suku Hokkian membawa tradisi membuat bakso ini ke nusantara terutama di daerah pesisir, di Medan, Jakarta dan pesisir Jawa, hingga Makassar, papar Arie Parikesit.
Percampuran budaya membuat bakso berubah sesuai dengan lidah lokal dan variannya sudah banyak sekali sejak dulu.
Di Makassar misalnya namanya berubah menjadi Nyuknyang dan disajikan dengan cabai oranye yang khas.
Di Jawa Timur, menu ini populer disebut Bakso Malang lengkap dengan aneka tahu, pangsit, dan siomay. Sementara di Pontianak bentuknya menjadi lebih pipih dan dinamakan bakso gepeng - yang disajikan dengan kuetiaw.
Tak ketinggalan bakso kakap di Semarang yang disajikan dengan bakso sapi dan usus.
"Mungkin yang paling terkenal adalah bakso dari Solo, Wonogori, ditambah kecap manis, ditambah bumbu saos dan sambal, yang mungkin sudah beda sekali dengan yang di Tiongkok sana. Tapi juga ada yang masih bening, yang lebih oriental. Keragaman bakso di Indonesia memang luar biasa," jelasnya.
Bakso kekinian yang... sesaat?
Lalu, kembali ke bakso kekinian: apakah tren yang 'menggila' ini sebetulnya menyalahi aturan budaya yang sudah ada?
"Di sini diuji bagaimana pedagang tetap bisa memberikan yang terbaik bagi konsumen, di sisi lain kita juga punya integritas dan etika. Karena memang kita harus respect sama makanan,"
Dan mungkin karena didasari pada hal yang sensasional, menghebohkan, tren bakso kekinian mungkin tidak akan berlangsung lama. Orang-orang pada akhirnya akan kembali ke bakso-bakso klasik khas daerah masing-masing yang sudah terbukti digemari puluhan tahun.
"Ini sebuah tren, sebuah tren yang dalam beberapa tahun juga akan berganti yang baru, atau mungkin orang nantinya jenuh. Jadi satu dua tahun bolehlah makan bakso beranak, tapi akhirnya akan kembali ke bakso yang mereka tahu selama ini. Memang bakso-bakso klasik tetap akan jadi top of mind untuk penggemar kuliner Indonesia."
Dan ini ada benarnya. Saya bertanya pada satu pengunjung bakso beranak di Jakarta tentang bakso paling enak. Dia bilang, "yang paling favorit bakso Malang, karena saya orang Malang. Itu saja," katanya sambil tertawa.
0 komentar:
Posting Komentar